Monday, June 15, 2015

Beberapa Hal Dasar tentang Puasa Ramadan


Alhamdulillah, sebentar lagi bulan penuh berkah akan datang, yaitu bulan puasa. Berikut ini beberapa hal dasar yang berkaitan dengan penyambutan dan pelaksanaan puasa di bulan Ramadan.

1 Tidak ada perkara-perkara khusus yang disyariatkan bagi seorang muslim dalam menyambut bulan Ramadan.
Hal tersebut telah dijelaskan melalui Fatwa Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- dalam Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanwwi’ah, 15/9. Hal yang dianjurkan bagi seorang muslim menyambut bulan yang mulia ini adalah dengan menjalankan sebenar-benar taubat dan persiapan untuk puasa dan shalat tarawihnya dengan niat yang baik serta semangat kuat yang jujur.

Menyambut bulan Ramadan dilakukan dengan melakukan introspeksi diri terhadap kekurangan dalam merealisasikan dua kalimat syahadat atau kekurangan dalam menunaikan kewajiban atau kekurangan karena tidak meninggalkan perbuatan (terlarang), baik karena syahwat atau syubhat.

Hendaknya seorang hamba meluruskan akhlaknya di bulan Ramadan agar meraih derajat keimanan yang tinggi, karena keimanan bertambah dan berkurang. Bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan melakukan kemakasiatan.

2 Yang diwajibkan berpuasa Ramadan.
Pertama: Muslim
Kedua: Mukallaf (orang yang terkena kewajiban melakukan ibadah)
Ketiga: Mampu (menjalankan) puasa
Keempat: Menetap di suatu tempat (tidak bepergian)
Kelima: Tidak memiliki penghalang.
Kelima persyaratan ini, kalau ada pada seseorang, maka dia wajib berpuasa.

Terkait syarat kelima, tidak ada penghalang. Ini khusus bagi para wanita. Yaitu mereka yang haid dan nifas, tidak diharuskan baginya berpuasa, berdasarkan sabda Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam yang menetapkan (hal itu):

“Bukankah seorang wanita yang sedang haid tidak menunaikan shalat dan puasa”.

Maka tidak diharuskan berpuasa, bahkan (kalaupun dia berpuasa) tidak sah puasanya, berdasarkan ijma (konsensus ulama), namun diharuskan baginya mengqadha berdasarkan ijma pula. [As-Syarhu Al-Mumti’, 6/330]

3 Rukun-rukun Puasa.
Para ahli fiqih sepakat bahwa menahan dari pembatal-pembatal puasa sejak terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari adalah termasuk rukun puasa. Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah niat. Mazhab Hanafi dan Hanbali bahwa niat adalah syarat sah puasa, sedangkan mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa niat termasuk rukun selain menahan (dari pembatal puasa). Baik niat dianggap rukun atau syarat, yang jelas puasa –seperti ibadah lainnya- tidak sah tanpa niat, kemudian menahan diri dari pembatal-pembatal (puasa).

[Al-Bahru Ar-Raiq, 2/276. Mawahibul Jalil, 2/378. Nihayatul Muhtaj, 3/149. Nailul Ma’arib Syarh Dalil At-Thalib, 1/274]

4 Melafazkan Niat Puasa Adalah Bid’ah.
Puasa Ramadan atau ibadah-ibadah lainnya tidak sah melainkan dengan niat. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhan amal (ibadah) itu tergantung niat. Dan setiap orang tergantung apa yang dia niatkan… sampai terakhir hadits.” [HR. Bukhari, no. 01, dan Muslim, no 1907]

Niat (puasa Ramadan) disyaratkan waktu malam, sebelum terbit fajar. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلا صِيَامَ لَهُ (رواه الترمذي، رقم 730، ولفظ النسائي، رقم 2334) مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَلا صِيَامَ لَهُ (صححه الألباني في صحيح الترمذي، رقم 583)

“Barangsiapa belum niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka dia tidak mendapatkan puasa.” [HR. Tirmizi, no. 730, sedangkan redaksi dalam riwayat Nasa’i, no. 2334] “Barangsiapa yang belum berniat puasa di malam hari, maka dia tidak mendapatkan puasa.” [Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab shahih Tirmizi, no. 583]

Maksudnya adalah, barangsiapa belum berniat puasa dan tidak berencana kuat untuk melakukannya di waktu malam, maka dia tidak mendapatkan puasa.

Niat adalah perbuatan hati. Seorang muslim hendaknya memantapkan hatinya bahwa dia akan berpuasa besok. Tidak disyariatkan untuk melafazkannya dengan berucap: Saya niat berpuasa atau saya berpuasa sungguh-sungguh karena Engkau, hingga seterusnya, atau yang semisal itu dari berbagai bentuk ucapan yang dikarang-karang oleh sebagian orang. Niat yang benar adalah manakala seseorang memantapkan dalam hati bahwa dia akan berpuasa besok. Oleh karena itu syaikhul Islam mengatakan dalam kitab Al-Ikhtiyarat, hal. 191. “Barangsiapa yang terlintas dalam hatinya besok dia akan berpuasa, maka dia dianggap telah berniat.”

Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya: “Bagaimana seseorang niat puasa di bulan Ramadan?” Maka dijawab: “Niat adalah dengan bertekad bulat (menunaikan) puasa. Niat harus ditetapkan di malam hari (untuk) puasa Ramadan, setiap malam.’ [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/246]

5 Imsak (menahan dari pembatal puasa) Sebelum Fajar Beberapa Menit Adalah Bid’ah.
Tindakan itu tidak benar. Karena Allah Ta’ala memperbolehkan bagi orang puasa makan dan minum sampai terlihat jelas terbit fajar. Allah berfirman,

(Artinya) “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” [QS. Al-Baqarah: 187]

Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 1919 dan Muslim, no. 1092 dari Ibnu Umar dan Aisyah radhiallahu’anhum. Sesungguhnya Bilal azan waktu malam. Maka Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Makan dan minumlah kalian semua sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan. Kerena beliau hanya azan setelah terbit Fajar.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Padanya (kesimpulan hadits ini), dibolehkan makan, minum dan berhubungan badan (jima) dan segala sesuatu sampai terbitnya fajar.”

Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab Fathul Bari, 4/199: “Di antara bid’ah yang mungkar adalah apa yang dilakukan pada zaman ini dengan mengadakan azan kedua sebelum fajar sekitar sepertiga jam di bulan Ramadan. Dan mematikan lampu-lampu sebagai tanda dilarang makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka menyangka apa yang mereka perbuat adalah sebagai kehati-hatian dalam ibadah.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya apa yang didapatkan di sebagian taqwim dengan menentukan waktu imsak sebelum fajar sekitar seperempat jam, beliau mengatakan: “Ini adalah bagian dari bid’ah. Tidak ada landasannya dalam sunnah. Bahkan dalam sunnah adalah kebalikannya. Karena Allah berfirman dalam Kitab-Nya yang Mulia: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” [QS. Al-Baqarah: 187].

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Bilal azan di waktu malam (sebelum masuk waktu fajar), maka makan dan minumlah kalian semua sampai kalian mendengar azan Ibnu Ummi Maktum. Kerena beliau hanya azan setelah terbit Fajar.”

Imsak yang dibuat oleh sebagian orang adalah tambahan terhadap apa yang telah Allah Azza Wa Jalla wajibkan, maka hal itu batil dan perkara yang memberatkan diri dalam agama Allah. Padahal Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan, Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan, Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan.” [HR. Muslim, 2670]

6 Doa berbuka puasa yang shahih.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca do’a berikut ini,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Dzahabadh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” [HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan]

Adapun do’a berbuka yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yaitu,

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)”

Riwayat di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya no. 2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38)

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38)

Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. [Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45]