Sunday, March 15, 2015

Ada Menunggu Dikala Rindu


Aku suka mati karena rindu kepada Rabb. Aku suka fakir (miskin) karena tawadhu’ kepada Rabb. Dan aku suka sakit karena itu bisa menghapus kesalahanku. (Hilyatul Auliya : 1/217)

Perkataan tadi keluar dari seorang shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Abu Darda. Salah seorsang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang taqwa nan wara’ dalam hidupnya. Istiqomah dalam beribadah serta dicintai oleh para sahabat lainnya. Perkataan itu merupakan nasihat yang menyejukkan dan seharusnya menjadi penyejuk jiwa dan pelapang dada atas apa yang terjadi pada setiap muslim. Karena hidup ini adalah siklus. Perputaran kehidupan terus terjadi di gelanggang dunia, setiap orang adakalanya mati, dan ketika itu pula di belahan dunia lain ada yang hidup. Dibelahan dunia barat ada yang fakir, maka disebelah timur tumbuhlah kekayaan yang diskriminan. Terus berputar dan silih berganti. Sebagaimana hari-hari yang diisi oleh matahari terbit dan terbenam berganti bulan bersinar dan menjadi sabit kembali.

Kerinduan adalah asa yang menggelayut dalam dada. Semakin tinggi pautan kerinduan seseorang, maka akan semakin nyata pula tingkat harapan pencapaiannya. Rindu kadang menggelayut dan menorehkan seberkas senyum dalam wajah datar seorang ibu. Disaat menanti kedatangan anaknya setelah merantau sekian lama. Rindu pula menggelayut seorang pemuda dikala asa menggenapkan separuh agama sudah di depan mata, ataukah rindu para pendosa untuk mengakhiri hidupnya diatas sajadah taqwa. Seperti pula senandung rindu istri seorang mujahid yang bersiaga di medan jihad saat Umar bin Khattab mendengar syair kerinduannya, lalu Umar bertanya kepada anaknya Hafshah, soal sampai kapan seorang wanita dapat menahan kerinduan atas suaminya. Rindu itu adalah nyata dan sulit terhapus dalam dada.

Selalu ada nilai dalam momentum kerinduan. Menyibakkan nilai suka dan membakar nilai nestapa. Kadangkala rindu itu tiba dikala aktivitas seseorang terkabulkan oleh Allah atas doanya, dimasa yang sekarang dirindunya. Ketika ia rindu untuk membaca Al Qur’an dan mempunyai keluangan waktu untuk memahami secara mendalam kandungannya, maka rindu itu hadir menyeruak saat ia berada diatas meja kerja ketika kesibukan menyita waktunya. Disaat terbayang momentum indah dari kehidupan yang dirayakan penuh suka cita, maka rindu bisa menjadi obat untuk melepas kepenatan dan kejenuhan yang jemu mendera nilai-nilai hampa.

Handzhalah mengajarkan kita soal bagaimana membayar kerinduan senyatanya. Namanya adalah Hanzhalah Al Asadi, juru tulis pilihan Nabi. Suatu ketika ia berjumpa dengan Abu Bakar Ash Shiddiq. Hanzhalah menuturkan kisahnya, Suatu ketika, aku berjumpa dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.   “Ada apa denganmu, wahai Hanzhalah?” tanyanya (dalam riwayat lain ketika itu Hanzhalah melewati hadapan Abu Bakr sambil menangis).

“Hanzhalah ini telah berbuat nifaq,” jawabku.

“Subhanallah, apa yang engkau ucapkan?” tanya Abu Bakr.

“Bila kita berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita menyibukkan kita, hingga kita banyak lupa / lalai,” kataku.
“Demi Allah, kami juga menjumpai yang semisal itu,” Abu Bakr menanggapi perasaan Hanzhalah. Aku pun pergi bersama Abu Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kami dapat masuk ke tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
”Hanzhalah ini telah berbuat nifaq, wahai Rasulullah,” kataku.
“Apa yang engkau katakan? Mengapa engkau bicara seperti itu?” tanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Wahai Rasulullah, bila kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kami dapat melihatnya dengan mata kepala kami. Namun bila kami keluar meninggalkan majelismu, istri, anak dan harta kami (sawah ladang ataupun pekerjaan, –pent.) melalaikan kami, hingga kami banyak lupa/ lalai,” jawabku. Mendengar penuturan yang demikian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian tetap berada dalam perasaan sebagaimana yang kalian rasakan ketika berada di sisiku dan selalu ingat demikian, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. (HR. Muslim no. 6900, kitab At-Taubah, bab Fadhlu Dawamidz Dzikr wal Fikr fi Umuril Akhirah wal Muraqabah, wa Jawazu Tarki Dzalik fi Ba’dhil Auqat wal Isytighal bid Dunya).

Dalam riwayat lain disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan lafadz “Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim no. 6901). Hanzhalah radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dirinya sebagai salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah membuatnya merasa aman dari makar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan ia merasa khawatir bila ia termasuk orang munafik, karena saat berada di majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rasa khauf (takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan azab-Nya yang pedih) terus menyertainya, dibarengi muraqabah (merasa terus dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala), berpikir dan menghadapkan diri kepada akhirat. Namun ketika keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia disibukkan dengan istri, anak-anak dan penghidupan dunia. Hanzhalah khawatir hal itu merupakan kemunafikan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajari Hanzhalah dan para shahabat yang lain bahwa keadaan seperti itu bukanlah kemunafikan. Karena mereka tidaklah dibebani untuk terus menerus harus memikirkan dan menghadapkan diri hanya pada kehidupan akhirat. Ada waktunya begini dan ada waktunya begitu. Ada saatnya memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 17/70).

Begitulah rindu, adakalanya berisi kegelisahan yang mendalam terhadap hal-hal yang ditakutkan, terlebih sebelumnya perindu memiliki kesan indah membekas pada momentum yang pernah direguk kenikmatan diatasnya. Balada sang perindu selalu hadir dalam antrian-antrian lorong tunggu. Menunggu bagaimana waktu merealisasikan hasil usaha yang ditempuh. Rindu bukan kumpulan fatamorgana kesia-siaan, ia hadir karena adanya panggilan jiwa. Lubuk hati yang menggelora dan hasrat asa berkumpul bersama. Pada hakikatnya rindu itu sendiri adalah tujuan dari garis-garis impian yang tersadarkan untuk memenuhi relung jiwa yang terpaut suatu kenikmatan dan kebahagiaan.

Indah nian perkataan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Ighatsatul Lahfan 2/194, “Sesungguhnya hati itu akan melewati waktu-waktu yang penuh dengan kegembiraan karena kerinduan dan kecintaannya kepada Allah Azza wa Jalla.”

Wallahu ‘alam bi shawwab…