Saturday, February 14, 2015

Sara Bokker: Hijab, Simbol Baru Kebebasan Wanita


Sebagai wanita Amerika yang lahir di tengah-tengah ‘Jantung’-nya Amerika. Aku tumbuh dewasa seperti gadis-gadis Amerika lainnya yang terpaku dengan kehidupan glamour “kota besar”. Kemudian aku pindah ke Florida, di Pantai Selatan Miami, sebuah tempat populer bagi pencari “kehidupan glamour”. Tentu saja, saat itu aku melakukan apa-apa yang biasa gadis-gadis Barat lakukan. Aku terfokus pada penampilan fisik dan daya tarikku, mengukur nilai harga diriku pada banyaknya perhatian yang diberikan orang lain padaku. Aku berolahraga teratur hingga menjadi pelatih pribadi di sebuah perumahan mewah di tepi laut dan menjadi pengunjung setia pantai yang ‘suka pamer tubuh’ serta sukses mencapai taraf kehidupan yang ‘penuh gaya dan berkelas’.

Tahun berlalu, kusadari bahwa skala tingkat kepuasan diri dan kebahagiaanku meluncur maju hingga aku semakin menggunakan daya tarik kewanitaanku. Saat itu, aku adalah budak mode. Aku telah menjadi sandera bagi penampilanku sendiri.

Semakin melebarnya kesenjangan antara kepuasan diri dan gaya hidup, maka aku berusaha melindungani diri dari alkohol dan pesta-pesta dengan cara meditasi, menjadi aktivis, dan mempelajari agama alternatif, hanya untuk mempersempit kesenjangan yang sudah terlihat seperti jurang. Namun, akhirnya aku sadar bahwa semua itu hanya seperti minum obat pembunuh rasa nyeri daripada sebagai penyembuhan.

Sebagai seorang pembebas kaum wanita dan sebagai aktivis yang berupaya membuat dunia menjadi lebih baik bagi semua, jalanku berseberangan dengan aktivis lainnya yang telah menjadi pemimpin dalam kasus reformasi dan keadilan untuk semua tanpa pandang bulu. Aku bergabung dalam kampanye lain yang sedang dilakukan oleh pembimbing baruku,  antara lain reformasi pemilu dan hak-hak sipil. Sekarang ini, kegiatan aktivisku sudah sangat berbeda. Daripada mendukung keadilan yang hanya untuk sebagian orang secara ‘selektif’, aku belajar bahwa keadilan, kebebasan, dan penghargaan yang ideal sangat berarti dan pada dasarnya bersifat umum, lalu antara kebaikan pribadi dengan kebaikan bersama harus sejalan dan tidak konflik. Untuk pertama kalinya, aku mengetahui sesungguhnya arti “semua orang diciptakan sederajat”. Tetapi yang sangat penting, aku belajar bahwa hanya dengan keyakinanlah, dunia dapat dilihat secara utuh sebagai sebuah kesatuan dan dapat melihat penyatuan dengan pencipta.

Suatu hari aku menemukan sebuah buku yang telah dikonotasikan negatif oleh dunia Barat – (yaitu) Al-Quran Yang Suci. Tadinya, pandanganku terhadap Islam adalah pembungkus wanita dalam ‘tenda’, pemukul para istri, harem, dan teroris dunia. Pertama kali aku tertarik dengan gaya dan pendekatan yang digunakan Al-Qur’an kemudian semakin tertarik oleh pandangannya tentang keberadaan makhluk, kehidupan, penciptaan, dan hubungan antara Sang Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya. Kutemukan bahwa Al-Qur’an menjadi sumber pencerahan bagi hati dan jiwa tanpa perlu kehadiran penafsir ataupun pastor.
Akhirnya aku menemukan kebenaran: penemuan aktivis baruku untuk kepuasan diri ternyata tidak ada artinya dibandingkan dengan memeluk sebuah agama yang disebut Islam yang akan membuat hidupku damai sebagai ‘fungsionil’ Muslim.
Aku membeli sebuah gaun panjang yang cantik dan jilbab yang mirip gaya busana Muslimah, aku berjalan di jalan dan lingkungan tetangga sama yang beberapa hari sebelumnya aku masih mengenakan celana pendek, bikini atau pakaian ‘elegan’ dunia barat. Meskipun masyarakat, wajah, dan toko semuanya tetap sama,  satu hal yang sangat berbeda: pengalamanku untuk pertama kalinya merasakan kedamaian sebagai wanita. Aku merasa rantai-rantai telah putus dan akhirnya aku benar-benar bebas. Sangat menyenangkan melihat wajah keheranan dari orang-orang para pemburu yang menonton mangsanya, yang sering kutemui dulu. Tiba-tiba saja beban berat itu lepas dari pundakku. Aku tak lagi menghabiskan waktuku untuk berbelanja, berdandan, ke salon, dan senam. Akhirnya, aku bebas.

Dari semua tempat, kutemukan Islamku di jantung tempat yang disebut sebagian orang sebagai ‘tempat pusatnya skandal di bumi’, yang membuatnya smakin berharga dan spesial.

Tak lama kemudian, muncullah berita tentang politik, pendeta Vatikan, penggagas kebebasan, mereka sebut berdasarkan hak azasi manusia dan aktivis kebebasan mengutuk Hijab (jilbab) yang dianggap sebagai bentuk penindasan bagi kaum wanita, penghambat integrasi sosial, dan baru-baru ini, pegawai Mesir menyebutnya sebagai ‘tanda-tanda keterbelakangan’.

Menurutku itu jelas sebuah kemunafikan ketika beberapa orang menyebut dirinya sebagai kelompok hak azasi manusia buru-buru membela hak azasi wanita ketika para pemimpin dari beberapa negara malah memaksakan memberlakukan aturan berpakaian tertentu terhadap wanita, masih mirip ‘pejuang kebebasan’ melihat sisi lain ketika wanita kehilangan hak-haknya, pekerjaannya, dan pendidikannya hanya karena mereka memilih untuk menjalankan agamanya dengan memakai Hijab.

Saat ini, saya masih sebagai seorang pejuang hak-hak wanita (feminis), tapi seorang Muslim feminis, yang menyeru kepada Muslimah untuk ikut serta bertanggung jawab dan memberikan dukungan semampunya kepada suaminya agar menjadi Muslim yang lebih baik. Membesarkan anak-anaknya menjadi Muslim yang lurus sehingga mereka dapat menjadi lampu penerang bagi semua kehidupan. Untuk menyerukan pada kebaikan dan melarang kejahatan. Untuk berkata pada kebenaran dan melawan semua penyakitnya. Berjuang  untuk mempertahankan hak kita memakai Hijab dan untuk mematuhi Sang Pencipta. Tapi menjadi hal yang penting untuk membagikan pengalaman kita dalam ber-Hijab kepada para wanita lainnya yang tak pernah mengerti apa arti Hijab bagi kita dan mengapa kita mengenakannya, dengan penuh cinta, dan peluklah!

Mau tak mau, wanita telah dibombardir dengan gaya busana yang pada hakekatnya adalah ‘berpakaian minim hampir tanpa busana’ di setiap media komunikasi seluruh dunia. Sebagai seorang mantan Non-Muslim, saya bersikeras menuntut hak-hak wanita untuk dapat sama-sama mengetahui tentang Hijab, kebaikannya, kedamaian dan kebahagiaan yang dibawanya ke dalam hidup wanita, seperti yang telah terjadi kepadaku.

Sangat bahagia telah meninggalkan bikiniku di Pantai Selatan dan gaya kehidupan ‘glamor’ Barat kepada hidup damai dengan Sang Pencipta dan menikmati hidup di antara sesama manusia sebagai manusia yang berguna.
Hari ini, Hijab adalah simbol baru bagi kebebasan wanita yang menemukan jati dirinya, apa tujuan penciptaanya, dan bagaimana bentuk hubungan yang dipilihnya kepada Sang Pencipta.

Untuk wanita yang menyerah terhadap anggapan buruk yang menyerang Hijab dalam Islam, saya katakan: Engkau tak tau apa yang telah engkau lewatkan.

[Sumber dari IslamReligion.com diterjemahkan oleh Tim Shalihah.com]