Friday, February 27, 2015

Menghadirkan Kerinduan Untuk Kebaikan


Setiap kita tentu tahu siapa sosok bernama Bilal bin Rabah yang hidup dimasa Rasulullah hidup, ia masuk Islam ketika semua orang belum memeluk Islam. Terlahir dari golongan budak dan berakhir perbudakannya kala Ash Shidiqul Akbar yakni Abu Bakar sang mertua Nabi memerdekakannya. Ujian dilakoni selama ia mengalami masa perbudakan, tanpa kenal ampun kaum musyrikin menghina dan menyiksa dirinya ketika ia menjalani profesi sebagai budak. Menjadi budak memang bukan pilihan hidupnya, menjadi budak sudah menjadi bagian dari garis keturunan dari sang ibu bernama Hamamah yang pula seorang budak, maka tak jarang di masa itu ia dipanggil Ibnu As Sauda’ atau anak dari perempuan budak hitam.


Penggalan sejarah dipersaksikan olehnya, peperangan demi peperangan tergambar jelas di pelupuk matanya. Pernah pula ia berselisih tegang dengan sahabat lainnya semisal Abu Dzar Al Ghifari pada satu perkara yang menjadikan Abu Dzar ditegur oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan “di dalam dirimu masih ada sisa-sisa kejahiliyahan”.

Episode mengharukan dalam kehidupan Bilal bin Rabah justru terjadi di masa wafatnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bilal sang penyeru langit itu dengan berat hati mengumandangkan adzan sebagai tugasnya. Jenazah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun belum dikebumikan namun shalat telah masuk waktunya. Ketika sampai pada ucapan asyhadu anna muhammadar rasuulullaah ia menangis tersedu, lehernya tercekik, suaranya seakan hilang, dan melihat kejadian dramatis itu semua kaum muslimin yang ada disana menangis haru, tersedu-sedan tenggelam dalam kesedihan. Sang Nabi yang senantiasa menyelimuti hari kaum muslimin ketika itu memberikan petuah dan melegakan asa kini kembali ke haribaan Rabbnya. Berat memang di masa itu, ketika sosok dicintai pergi, namun rasanya belum sampai hati untuk rela melepasnya.

Setelah peristiwa itu, Bilal sempat adzan tiga kali. Namun ketika kembali pada ucapan asyhadu anna muhammadar rasuulullaah ia tak sampai hati mehanan sedihnya, mungkin nanar matanya menatap gambar perjuangan dan momentum kehidupan bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dramatisme tapi bukan picisan. Seketika ia menangis, seketika itu pula kaum muslimin yang mendengarnya juga menangis. Hingga akhirnya Bilal bin Rabah meminta izin kepada khalifah ketika itu yakni Abu Bakar untuk tidak lagi menggemakan adzan bagi kaum muslimin, sebab tak kuatnya perasaan dan penginderaannya. Ia meminta izin kepada Abu Bakar untuk berjihad saja di negeri Syam.

Abu Bakar ragu melepasnya, namun transaksi itu terjadi pula. Bilal bin Rabah mengatakan kepada Abu Bakar “Jika engkau membeliki untuk dirimu sendiri, maka silahkan engkau menahan diriku. Namun, jika engkau memerdekakan aku kala itu karena Allah, maka biarkan aku pergi demi Dzat yang karena-Nya engkau memerdekakan diriku.” Lantas Abu Bakar menjawab, “Demi Allah. Aku membelimu dan memerdekakanmu kecuali semua itu karena Allah.” Bilal pun kembali menegaskan,”Sungguh, aku tidak mau adzan lagi setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” Abu Bakar pun kembali menimpali ucapannya,”Jika demikian, terserah dirimu…”

Bilal pun pergi bersama pasukan awal kaum muslimin ke negeri Syam, lalu ia tinggal di Darayya. Sebuah kampung di negeri Damaskus kini. Ia menetap disana dan mengajarkan ilmu yang diperolehnya serta mendakwahkan Islam disana. Ia tetap tidak mau adzan sebagaimana komitmennya kepada Abu Bakar saat meninggalkan Madinah Nabawiyah.

Lantas, khalifah pun berganti dibawah kepemimpinan Al Faruq yang juga mertua dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Umar ibn Khattab radhiyallohu ‘anhu. Umar dating ke Syam setelah sekian lama ia tak berjumpa dengan Bilal. Sahabat lama di masa wahyu masih turun diantara mereka. Umar memendam kerinduan yang membahana di dada, kerinduan atas nama keimanan. Umar bin Khattab sangat menghormati Bilal bin Rabah, sebab Bilal memang lebih dahulu berada dalam ke-Islaman sebelum dirinya, dan penghormatan itu tulus. Bahkan ketika akhirnya Umar berjumpa dan menemui Bilal di Syam. Setiap kali disebut nama Abu Bakar Ash Shiddiq maka seketika itu spontan Umar menimpali, “Abu Bakr adalah pemimpin kita dan dia memerdekakan ‘pemimpin kita’” yang dimaksud disana ialah sosok Bilal bin Rabah yang dimerdekakan oleh Abu Bakr radhiyallohu ‘anhu.

Para shahabat ketika kedatangan Umar bin Khattab ke Syam sangat merindukan suara adzan Bilal bin Rabah saat mengumandangkan adzan sebagaimana pada masa ketika Nabi masih hidup dahulu. Ahirnya Bilal pun bersedia mengumandangkannya karena permintaan dari para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, dan ini pun termasuk sebagai penghormatan Bilal sebab mereka telah dating jauh ke Syam. Ketika adzan dikumandangkan oleh Bilal, dengan suara yang melengking membahana menyerukan adzan, sontak Umar tak kuasa menahan tangis hingga membasahi janggutnya, begitu pula dengan shahabat lain yang menangis hingga basah dan linangan air mata pun bercucuran. Bilal seketika itu telah mengobati kerinduan yang dalam akan kota Madinah di masa silam.

Sang ‘penyeru langit’ itu menghabiskan sisa umurnya di Damaskus. Ditemani dengan istrinya hingga kala sakit keras menghampiri,. Sang istri dengan setia melayani kebutuhan Bilal dan pernah disisa nafasnya terucap pesan dari sang istri kepada Bilal sembari meratap dengan suara keras, “Duhai, alangkah sedihnya…” mendengar itu Bilal membuka matanya sambil berkata, “Duhai alangkah bahagianya..” Bilal pun kerap kali menyenandungkan syair yang kerap kali diulang-ulangnya:

“Besok kita akan bertemu dengan orang-orang terkasih, Muhammad dan para shahabat”

Begitulah Kerinduan

Seperti itulah sebuah kerinduan akan sebuah nuansa kebahagiaan. Acapkali dalam hidup kita pun mengalami hal-hal serupa. Dalam bingkai dan dimensi apapun, kerinduan akan kebaikan yang pernah kita lakukan bisa jadi mengingatkan kita pada masa dimana kita berada kala itu. Kerinduan yang terngiang itu adalah kerinduan anugerah dari Ar Rahmaan. Di dalam sana terdapat petunjuk-petunjuk kebaikan menyapa.

Siapapun kita dan apa latar belakang dimensi kita, tentu kebaikan mengakrabi pada banyak kejadian. Namun berjalannya roda waktu dan kedewasaan justru acapkali menghapus kebaikan yang pernah ada di masa lalu. Kesibukan itu menggerus sekat waktu dan membunuh relung keteringatan kita. Kala dunia telah menggelorakan suara, kala itu kita lupa dengan kebaikan yang semestinya kita kekalkan dan pertahankan. Berapa banyak sisi gelap dalam nyata telah mengaburkan sisi maya pada setiap suasana.

Kejadian Bilal mengingatkan kita, bahwa siapapun mesti siap untuk kehilangan atas sesuatu yang dicintai. Sekalipun itu berat dan memang menyedihkan. Namun, terkadang butuh pula untuk kembali kepada suatu masa dimana hal demikian mengingatkan pada kejadian yang membuat semangat untuk kembali beramal. Sudah berapa banyak amal kebaikan yang bisa jadi ditinggalkan, namun disaat ingin kembali kepada kebaikan tersebut bisa jadi tertahan untuk melakukannya. Hal ini bisa jadi didasari pada tak adanya ingatan yang mengembalikan bagaimana kita melakukan kebaikan tersebut.

Maka untuk mengembalikannya ialah, cobalah untuk kembali mengingat masa-masa dimana itulah masa terbaik dalam hidup kita. Masa-masa dimana kebaikan selalu mengakrabi dalam segenap relung waktu itu. Masa-masa yang akan mengembalikan semangat untuk melaksanakan kebaikan dan meningkatkannya agar lebih bermutu. Setiap kita tentu bisa, karena setiap kita tentu memiliki memori yang tersimpan dalam raga dan mengumpulkan itu semua dalam jiwa sebelumnya. Maka berbuatlah kebaikan saat ini dengan sebaik-baiknya, lalu ingatlah bagaimana cara melakukannya. Yakinlah, suatu saat tentu kita bisa jadi merindukannya.

Sungguh indah ucapan Al Imam Asy Syafi’I yang diabdaikan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, “Jika pangkalnya menancap kuat didalam hati, maka lisan akan bercerita tentang cabang-cabangnya.”

Begitu pula dengan kebaikan, jika melakukanya dilaksanakan dengan penuh kebenaran, maka dengan mudah siapapun untu menemukan kembali bagaimana cara melakukannya. Berbuatlah selama hayat masih dikandung jasad. Wallahu ‘alam bii shawwab. (Bekasi, 15 Dzulhijjah 1431 H)